Semenjak virus corona menginjakan kaki di bumi
pertiwi, masyarakat mulai dihantui kekhawatiran. Hal ini bukanlah tanpa alasan
corona selalu mengintai dan berusaha menghantam setiap pribadi ataupun kelompok
yang ada dihadapannya.
Mellihat hal itu, psikis sayapun mulai terganggu. Hampir
tiap hari saya selalu memantau perkembangan corona bergerilia menghantam banyak
nyawa. Korban selalu berjatuhan tiap menit dan segala aktivitas disetiap sektor
kini tak lagi terlihat.
Kehadiran
virus corona ini cukup menimbulkan banyak luka untuk semua. Jasat korban yang
dikubur dengan tanpa jejak dan dengan proses yang tak lazim membuat was-was.
Banyak cara yang dilakukan pemerintah untuk memutus mata rantai perkembangan covid
19, yang lagi buming adalah dengan meminta masyarakat untuk selalu jaga jarak
atau berdiam diri di rumah.
Corona
tak lagi tarkalahkan, pembunuh berdarah dingin tersebut terus saja menunjukan
tajinya. Jejak-jejak manis bersama kawanku di sekolah dihapus olehnya begitu gesit.
Maklumlah, hampir 3 tahun kami selalu bersama dan beragam suka duka selalu kami hadapi. Ceritaku sepetinya
berakhir begitu perih, pemerintah meminta kami untuk belajar di rumah sementara
tinggal hitungan hari kami akan segera mengikuti UN. Semangat untuk mengikuti
UN seolah pudar mengagetkan.
Aku
rindu kawan-kawanku. Jejak-jejak kami belum terekspos dan tujuku untuk terus
bersama semakin mejadi-jadi. Tidak ada hal yang nantinya kami kenang sebagai
bukti kebersamaan, yang ada deraian tetesan air mata rindu yang rajin mencucuri
pipi tanpa jeda. Kami sontak menghilang dari sekolah tanpa permisi, tanpa
mengucapkan kata terima kasih, tanpa mengucapkan kata good by ataupun sekadar bersalaman dengan guru-guru yang telah
mengukir jejak bersama di sekolah.
Dalam
hening aku rindu dan dalam rindu kumenangis. corona pergilah dari bumi. tolong
Jangan hapus jejak-jejak kami. Sesumbar rintihan piluh enggan dia tanggapi.
Kami disambar dengan tidak sopan, sementara misi masih saja bergentayangan.
Kekejian corona mematahkan sebidang niat yang berlipat ganda. Semuanya hambar, sunyi,
sia sia tidak bermakna indah. Semangatku yang dulunya membara berapi-api akhirnya
tenggelam terbawah arus dunia menakutkan. 3 tahunku kurang cemerlang. Kehororan
dirgantara runtuhkan angan. membuatku beranjak kembali ke belakang.
Andai sedari
dulu segala misteri aku tau bahwa buana ini akan mengalami tragedi, tak berani kumemijakinya.
Aku lebih baik belajar sendiri di kuil bukit, setidaknya bisa menikmati kicauan
pipit, bersahabat bersama kembaran pohon daripada harus merasakan keramaian,
kebahagiaan, canda tawa, yang berujung sirnah sekejap netra merenggut nadi. “keluhku
dengan lirih”. Aku bosan terpenjara sepih, bosan terngangah kaku, bosan melihat
dinding-dinding rumah, bosan mengikat sukma pada ruang hampa.
Tidak lagi
kumelihat tapak orang berlalu lalang kesana kemari. Bukannya manja, hanya saja
aku butuh kebebasanku kembali berekspresi secara normal. Kembali bernongkrong
dalam kelas inklusif. Bercakap-cakap mensyairkan harap sambil mentitahkan mimpi
menuju rencana yang lebih nonfiktif. Hampir setiap malam aku memikirkannya.
Memikirkan nasib dari impiku itu.
Seragam
sekolah yang sering aku pakai pun sekarang tertatah usang dalam lemari mini.
sebab pemiliknya terpaksa melepaskan dia untuk sementara. Tak terbayangkan,
pakaian kebanggaanku juga menjadi korban kekacauan yang sengaja dirakit oleh
manusia. Kejengkelan itu mendorongku untuk mencurahkan pengalaman buruk ini ke bentuk
tulisan. Aku mulai mengisi “buku tentang berbagai hal lucu yang cocok menghibur
dukaku”. Kubeli sebuah buku catatan kecil dan terus kubuat daftar tentang apa
yang menurutku senang.
Buku
memberiku gairah yang kubutuhkan guna menetapkan perubahan. Berbagai referensi bijak
semua ada disitu. Sambil membalik-balik halaman demi halaman, aku meyadari
ternyata hal positif yang realistis dilakukan di tengah penyebaran wabah virus corona adalah mengungkapkan perasaanku
di atas kertas. Dengan terus menulis, aku makin keasyikan dengan kegiatan ini,
dan makin jauh aku berkonsentrasi pada kisah-kisahku, makin lenyap pikiran
negatifku. Tetapi tidak lupa untuk mentataati tips sehat yang dianjurkan tim medis.
Saat sedang
konsen berikhtisar pada sebatang pena dan sehelai kertas, tiba-tiba HP-ku
berdering. telfon video dari teman-teman kelasku. melalui suara heboh bercampur
perasaan rindu berat, mereka menceritakan seluruh aktivitas mereka selama social distancing. Ada yang sibuk
membersihkan rumah, berkebun, makan tidur, merapikan peralatan seni, nonton film,
online, memasak, dan sibuk menjadi relawan covid 19. Masing-masing dengan
caranya tersendiri. Kini hanya mampu bercengkrama
lewat media sosial guna membayar utang rindu yang terpendam selama beberapa
bulan ke depan, karena untuk bertemu secara wajar pun sangatlah susah. Waktu
terbatas oleh peraturan pemerintah. Yahh…semoga kalian aman-aman sahabatku,
dijauhkan dari prahara corona.
Jujur,
hari-hariku kurang melegakan. Aku sesal bila terpisah jarak dengan kalian,
sesal bila lulus sekolah tidak dipoles suasana menyenangkan dan tidak dengan ujian
tatap muka. Bebanku semakin bertambah ketika membaca
berita di media sosial yang mengatakan kemungkinan libur akan diperpanjang
sampai akhir tahun. Akal kian berantak tak karuan. Berharap isu ini sekedar
hoax belaka.
Betapa
menyedihkan takdir makhluk Tuhan, menerima tantangan teramat miris. Jasmani,
rohani, sosialisasi juga mata pencaharian menipis berlapis-lapis semenjak ada
corona. Inikah yang dinamakan the expired
struggles world of game over???. Terpaksa menghuni walau alam kadaluarsa
pertanda akhir zaman?. benarkah kejadian
abad ini adalah teguran sekaligus pelajaran bagi umat manusia mengenai kesadaran
terhadap pentingnya iman yang sehat?. Entahlah. Siapa yang mampu menebak. Mari kita coba refleksi. “lisanku penuh
Tanya”.
Lewee
BalasHapus